Posts

Showing posts from March 15, 2013

Kemarau

Cerpen: Nanang Suryadi Kemarau Sebenarnya aku tak pernah ingin menceritakan ini kepadamu. Karena tak ingin engkau menangis. Hingga telaga dalam matamu menjadi asin. Seperti laut. Mungkin akan ada badai gelombang di situ. Biarlah, tak akan pernah kuceritakan. Agar telaga di matamu seperti dulu, sejuk bening tenang yang akan kukunjungi setiap kali aku terbakar kemarau Aku menyimpan kemarau. Tak ingin kutitipkan di matamu. Karena tak mungkin engkau menanggungkan panasnya yang membakar. Hingga seperti terasa sumsum mengering. Biarlah di matamu hanya ada telaga yang akan kukunjungi setiap saat. Bila kemarau demikian bakar ubun kepalaku. Dari telagamu yang tenang dan bening kuciduk air dengan sepuluh jemari yang kurapatkan. Kusiram ke rambutku, ubun-ubun yang terbakar kemarau. Dengar desisnya demikian mengharukan. Hingga aku menangis. Dan tak ingin kau merasakan kemarau seperti ini. Kemarau yang membakar ubun-ubun kepalaku dengan demikian bengis. Pernah kumasukan kemarau ke dalam

ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Oleh: Nanang Suryadi ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya? Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang. Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku ya

SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1)

Esei: Nanang Suryadi SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1) Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sering membanggakan tahun-tahun masa kreatifnya tahun 1970-an. Ujarnya, “Tahun 1970-an adalah masa paling semarak dalam ekplorasi kesenian. Bukan hanya sastra tetapi juga dalam bidang seni lainnya: tari, teater, seni rupa. Dalam puisi berbagai perambahan dan pembebasan dilakukan.” Dengan mengacu kepada buku Korrie Layun Rampan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, SCB menunjukkan betapa sulitnya menemukan pembaharuan dalam sejarah sastra kita yang cukup panjang. Katanya, “Bolehlah dikatakan hampir selalu sejarah perpuisian modern sebagai suatu estafet Generasi berikutnya meski berlari sekencang abad teknologi ini, tetaplah masih saja memegang tongkat estafet dari generasi pendahulunya.” Ujarnya pula: “Pemikiran dan pembebasan puisi dari generasi sebelumnya, tahun 1970-an, masih merupakan landasan tempat bergerak dan bertumpunya kreatifitas penyair dari angkatan 2000-nya Korrie.” H

Proses Kreatifku (1)

Esei: Nanang Suryadi Proses Kreatifku (1) Pada November 2002, buku kumpulan puisiku “Telah Dialamatkan Padamu” terbit. Berbeda dengan buku-buku kumpulan puisiku sebelumnya: “Sketsa”, “Sajak di Usia Dua Satu”, “Orang Sendiri Membaca Diri” serta “Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis” --yang aku terbitkan dan cetak sendiri difotokopi atau dicetak offset, dengan jumlah paling banyak 200-an eksemplar-- bukuku yang terakhir ini diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional. Penerbitnya adalah Dewata Publishing. Ketika aku memberitahu kepada rekan-rekan bukuku akan diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional, banyak dari mereka berkomentar: “wah kamu beruntung sekali”. Bahkan ada seorang penyair yang sudah sangat terkenal menunjukan keheranannya, “wah, masih ada juga ya, penerbit yang mau bikin proyek rugi.” Memang, dalam dunia perbukuan di tanah air, menerbitkan karya-karya sastra terutama puisi dianggap tidak menguntungkan dalam hal perputaran modal yang ditanamkan. Dibandin

Proses Kreatifku (2)

Proses Kreatifku (2) Di masa SMA, minatku terhadap dunia seni sastra semakin kuat. Di masa itu, aku mulai membaca karya-karya sastra dari majalah Hai, Kompas, Pikiran Rakyat dan Koran Mingguan Swadesi. Penulis-penulis seperti Gola Gong, Gus Tf, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Remi Novaris DM, dll, kerap aku jumpai tulisannya di majalah Hai. Ruang pertemuan kecil di Pikiran Rakyat yang diasuh oleh Saini KM menarik perhatianku untuk membacanya, selain tentu saja membaca sajak-sajak yang ditampilkan di sana. Cerita bersambung di Kompas tak urung aku ikuti setiap hari. Sedangkan di koran Swadesi, aku mengikuti kolom sastra warung Diha yang memberikan kiat-kiat bagi penulis. Aku sering menulis surat kepada pengasuhnya, Mbak Diah Hadaning, sambil mengirimkan sajak-sajakku. Hampir tak percaya, suatu minggu aku baca di koran Swadesi pertanyaan dariku dimuat dan diJawab oleh Mbak Diah Hadaning sendiri. Kalau tidak salah pertanyaanku saat itu adalah tentang bagaimana cara mengatasi kem

Proses Kreatifku (3)

Proses Kreatifku (3) Geli juga saat seseorang menyapaku sebagai penyair. Di lingkungan kampus, di antara teman-temanku, di antara lingkungan pergaulan yang lebih luas, mereka seringkali mnghubung-hubungkan aku dengan sastra, khususnya puisi. Dan mereka tak segan memanggilku: penyair. Entah mengapa. Mungkin mereka melihat aku demikian mencintai dunia yang satu ini. Dan aku memang sering mengatakan: “aku mencintainya dengan keras kepala.” Konsistensi. Mungkin itulah kata kuncinya. Ketika seseorang terus menekuni suatu bidang dengan terus menerus, maka orang lain akan “mengakui” seseorang tersebut “berada” dalam bidang tersebut. Hal inilah yang terpikir dalam benakku saat ada yang meributkan masalah “pengakuan” atas eksistensinya di dunia kepenyairan. Pengakuan dari orang lain atas “keberadaan” dan “keberartian” kita bagi suatu lingkungan, sebenarnya mudah sekali, jika kembali pada satu kata kunci tadi: konsistensi. Apakah seseorang tersebut serius terus menerus menggeluti bidang ya

Tujuh Musim Setahun, Waktu Mencari Makna Cinta

Esei: Nanang Suryadi Tujuh Musim Setahun, Waktu Mencari Makna Cinta Adakah daya tarik novel yang ditulis dari sudut pandang seorang perempuan yang bercerita tentang kaumnya? "Tujuh Musim Setahun", sebuah novel karya Clara Ng, mencoba membeberkan secara subtil mengenai orientasi manusia terhadap ruang dunia yang terus berubah, dari beragam pandangan yang berbeda. Di mana muatan ceritanya memunculkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perhelatan persahabatan 5 orang perempuan, yang ditulis oleh seorang perempuan. Penghayatan penulis perempuan atas dirinya sendiri barangkali akan berbeda hasilnya jika permasalahan yang sama diceritakan oleh seorang novelis lelaki. Satu hal lagi yang patut diperhitungkan oleh kehadiran novel ini adalah novel-novel sebelumnya yang terbit di masa yang sama dan mengambil tematik yang hampir serupa. Clara Ng sebagai penulis yang muncul pada masa yang sama dengan Ayu Utami dan Dewi Lestari, novelis yang pada beberapa tahun terakhir ini

INTERAKSI SAJAK (1)

Esei: Nanang Suryadi INTERAKSI SAJAK (1) Sajak tercipta sebagai sebuah reaksi terhadap sesuatu hal yang menyentuh relung puitik seorang penyair. Sebenarnya tak ada yang mengharuskannya menuliskan pengalaman puitiknya itu menjadi sebuah karya. Ia bisa menyimpannya menjadi sebuah pengalaman individual, tak perlu orang lain tahu. Tapi, secara manusiawi banyak orang akan mengabarkan apa yang dirasakannya kepada orang lain, entah itu perasaan suka tak suka, sedih, gembira, marah dan sebagainya. Ya, penyair dalam hal ini ketika menulis sajak-sajaknya ia telah menjadi orang yang mengabarkan sesuatu yang terjadi dalam dirinya saat berinteraksi dengan berbagai hal di luar dirinya. Apakah sebuah sajak dapat mewakili dengan utuh "Puisi" (dengan P besar, sebagai pengalaman puitik sang penyair). Kata-kata atau bahasa memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk mengungkapkan pengalaman puitik tersebut. Jika saja ada sebuah alat yang dapat menghubungkan kepala penyair dengan kepala pe

INTERAKSI SAJAK (2)

Esei: Nanang Suryadi INTERAKSI SAJAK (2) Keorisinalan gaya seringkali menjadi beban bagi penyair. Seakan-akan menjadi dosa besar ketika terlihat pengaruh orang lain dalam karyanya. Hal itu diperkukuh dengan vonis-vonis dari kritikus yang cenderung melihat pengaruh orang lain terhadap karya sang penyair sebagai sesuatu yang negatif. Secara logis, pengaruh orang lain ke dalam karya seorang penyair tidak dapat dihindarkan. Terlebih lagi, sajak adalah hasil interaksi dengan hal-hal di luar diri penyair. Seorang kritikus dapat menelusuri pengaruh-pengaruh tersebut bermula. Ia dapat saja keliru mengidentifikasi. Terlebih lagi di saat sekarang berbagai informasi dari berbagai penjuru dunia demikian banyak, sehingga sangat besar kemungkinan antara identifikasi kritikus terhadap apa yang mempengaruhi karya seseorang bisa meleset. Saya mengandaikan misalnya seorang kritikus menyebut: ada pengaruh Chairil Anwar, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Su

INTERAKSI SAJAK (3)

INTERAKSI SAJAK (3) Dalam beberapa bulan terakhir, sebagai redaktur puisi cybersastra.net, saya menemukan banyak kejutan-kejutan saat membaca sajak-sajak yang masuk. Ah, bikin mabuk, membaca semua sajak-sajak ini, bayangkan paling tidak 50 sajak setiap harinya, berapa waktu yang harus dicadangkan untuk membaca semuanya? Selain kejutan-kejutan itu, banyak juga ditemui sajak-sajak yang tak beranjak dari model-model Pujangga Baru yang tenang kemilau, atau "Aku"-nya Chairil Anwar. Tidak menawarkan sesuatu yang baru mengikuti perkembangan jaman. Mungkin saya keliru mengidentifikasi, sebagaimana diutarakan di muka. Karena menurut seorang rekan yang meneliti sajak-sajak dalam bahasa Inggris, ia bilang banyak poems yang lurus-lurus saja (atau jangan-jangan ia sebenarnya tidak tahu belokannya di mana? Hehehe). Tapi jika memang dugaan saya betul bahwa sajak-sajak itu tak beranjak dari model Pujangga Baru yang tenang dan kemilau atau "Aku" sang fenomenal Chairil, maka sanga

Beberapa Permasalahan Kritik Sastra Indonesia

Beberapa Permasalahan Kritik Sastra Indonesia Dalam sebuah essaynya Saut Situmorang menyimpulkan sekaligus bertanya tentang krisis sastra Indonesia "Jadi apa yang terjadi di Indonesia sejak jaman Balai Pustaka sampai jaman Windows98 sekarang adalah krisis kritik sastra yang nampaknya belum ada tanda-tanda bakal berubah. Quo Vadis, kritik sastra Indonesia?" (1) Setelah membaca berbagai artikel tentang kritik sastra Indonesia, saya coba menarik benang merah, apakah sinyalemen Saut Situmorang itu benar adanya. Dalam acara membedah karya Goenawan Mohammad, 21 Maret 2000, di TIM, F Rahardi menyatakan, "membaca sekaligus memahami puisi Goenawan Mohamad bukanlah perkara mudah. Butuh kerja keras dan kerutan dahi untuk memahami belantara kata-kata yang ditanamnya. Semua itu bermula dari tradisi Goenawan dalam menulis puisi yang kental dengan referensi. Puisi mantan Pemimpin Redaksi Tempo itu dinilai banyak dilatari kecerdasan, pengetahuan, dan pengalaman yang posisinya berada

IMPIAN SASTRA DI DUNIA CYBER

Perkembangan sastra Indonesia kita ke depan akan menemui kemungkinan-kemungkinan baru. Jika selama ini para sastrawan hanya menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran yang berwujud kertas, maka saat ini kita bisa menemukan karya-karya mereka tersebar di media Internet, sebuah dunia maya, yang menghubungkan satu komputer dengan berjuta-juta komputer lainnya yang sangat mungkin di belahan dunia yang berbeda. Internet merupakan hal yang baru bagi hampir semua orang. Dimulai dari proyek pertahanan Amerika Serikat dan eksperimen di dunia akademis pada tahun 1969 dan semakin populer di akhir abad 20 ketika para kapitalis (pemodal)/ industrialis melihat peluang ini dan semakin memperhebat berbagai fasilitas yang semakin memungkinkan mengawinkan berbagai kemudahan teknologi. Tengok saja TV, telepon, fax, selular, menjadi hibrida teknologi informasi. Salah satu keunggulan pemanfaatan teknologi Internet adalah adanya pemotongan jalur distribusi. Rentang jalur distribusi pemasaran konven

Hujan Sore Hari

Cerpen: Nanang Suryadi Hujan Sore Hari Hujan yang turun sore hari, selalu mengingatkan aku padamu. Kau ingat tiktiknya bersama desau angin, demikian gaib, menghantarkan kita ke batas hari demikian cepat. Ah, aku tahu engkau kan segera mengatakan bahwa aku sangat tergila-gila kepada selarik puisi patah hati yang ditulis si mata merah itu: gerimis mempercepat kelam. Memang, senja tak seperti biasanya jika hujan turun sore seperti ini. Matahari di hari yang cerah jika senja akan membiaskan jingga di langit, mungkin bukan jingga, mungkin kuning keemasan. Seperti gambar di kartu pos yang kau kirimkan suatu ketika: langit di saat senja, matahari yang segera tenggelam, laut dan bayang perahu-perahu layar. Pernah suatu ketika, seorang temanku menuliskan dalam sebuah suratnya bahwa ia memotong senja untuk kekasihnya yang bernama Alina. Tapi, mungkinkah sebuah senja dipotong dan dikirimkan kepada seseorang seperti kartu pos yang kau kirimkan saat itu? Aku tahu engkau akan mengatak

Ketika Tiga Anak Wayang Berpuisi

esai Nanang Suryadi Ketika Tiga Anak Wayang Berpuisi Pada Oktober 2002, Forum Kesenian Banten menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Dunia Wayang . Antologi ini memuat 36 puisi karya tiga penyair Banten: Asep GP, Ibnu PS Megananda, dan Ruby Ach. Baedhawy. Antologi ini diberi kata sambutan di halaman pembuka oleh Drs. Didi Supriadi, M.Pd.—kepala dinas pendidikan Propinsi Banten—, dan oleh penyair Toto St. Radik di halaman penutup. Secara umum, dalam kumpulan puisi Dunia Wayang tema sosial politik tampak menjadi hal menarik bagi ketiga penyair untuk dituangkan dalam sajak. Perubahan yang terjadi di sekitar penyair, baik lokal maupun nasional, menggoda mereka untuk menyikapinya. Mungkin berita-berita koran dan televisi telah menggugah kesadaran mereka. Keganjilan atau ketidakwajaran yang terjadi di sekelilingnya telah merangsang kepekaan jiwa para penyair ini. Diduga, berita-berita tersebut banyak mengilhami lahirnya sajak-sajak dalam buku ini. Namun, dalam menyikapi fenomen

Anak Rantau yang Menulis Rindu lewat Internet

Esei: Nanang Suryadi Anak Rantau yang Menulis Rindu lewat Internet (Catatan bagi Ilusiminimalis Heri Letief) Membaca sejumlah sajak Heri Latief dalam buku Ilusiminimalis yang terbit di akhir Februari 2003, semacam membaca buku catatan harian selama 3 tahun (2001-2003). Di situ kita dapat menemukan bagaimana perasaan sang penyair di saat jauh dari Tanah Air. Juga dapat ditemukan bagaimana perasaan penyair ketika sedang berada di tanah airnya itu. Heri si anak rantau menulis: Aku, Anak Rantau (1) aku anak rantau yang mencari makan di tong sampahmu dan yang tidur di kolong langit berselimut kardus bekas pisimu aku anak rantau berjalan kaki menuju rumah impian yang dijanjikan nasib dipermainkan peraturan untuk orang asing karena aku numpang di kampungmu aku anak rantau mengirimkan sepotong sajak untuk dibuang ke tong sampah yang akan kupungut lagi dan kujadikan toetje untuk mencuci mulutku aku, heri latief anak rantau ………………… ………………… Banyak sajak Heri